Hisyam bin Hassan menceritakan, “Hazil putra Hafshah binti Sirin bekerja
mengumpulkan kayu bakar di musim panas. Kayu itu kemudian dikulitinya lalu dia
ambil ampasnya dan dia membelahnya. Hafshah berkata, ‘Aku sering merasa
kedinginan ketika melakukan qiyamullail di musim dingin. Jika datang musim
dingin, putraku Hazil datang membawa perapian dan diletakkannya di belakangku.
Dia meletakkan api itu di belakangku agar aku bisa memanaskan badan. Dia tetap
berada di dekatku sampai penghujung malam.’
Hafshah melanjutkan, ‘Ketika putraku wafat, Allah mengaruniakan kesabaran kepadaku untuk berpisah dengannya, tetapi aku tetap merasakan kepedihan dan kehilangan berpisah dengannya, sesuatu yang sulit untuk terobati.’
Suatu malam, ketika aku sedang shalat di tempat ibadahku dan aku membaca surah an-Nahl, aku sampai pada ayat berikut.
‘...sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan Kami pasti akan memberi balasan kepada orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.’ (an-Nahl: 95—96)
Aku terus ulang-ulang ayat tersebut, dan akhirnya Allah menghilangkan perasaan sedih yang menghimpit batinku.”
Hafshah binti Sirin sering menyalakan pelita di malam hari untuk melaksanakan qiyamullail di mushalla pribadinya. Kerap kali terjadi lampu pelitanya padam, tetapi rumahnya tetap bercahaya sampai pagi. Apabila dia sudah masuk ke ruang tempat shalatnya, dia tidak akan keluar kecuali karena suatu kebutuhan yang sangat mendesak.