“ Wahai Tuhanku, betapa telah Kau aturkan perkenalan
sehingga membenihnya persahabatan
dan Kau pupuk ia tumbuh subur di hati kami
agar bercambah keimanan.
Namun andai hadirku menjadi ulat
yang merosakkan antara dia dengan-MU,
maka tidak ada tangguh untukku
berundur dari dalam hidupnya.
Kerana-Mu Tuhanku,
saat aku memohon teman
yang mengemburkan keimanan
dan Kau anugerahkan dia
menjadi pohon singgahsana
agar rimbunnya menjadi teduhanku
dari bahang kemarau kehidupan.
Bagaimana Kau meminta dia dariku kembali,
sedang aku dan dia nyata milik-MU.
Pada-Mu kuserahkannya,
andai pengorbanan itu mahar keredhaan,
Kerana saat Kau hadirkan pertemuan,
telahku redha untuk sebuah perpisahan.”
Pernahkah
kita bertemu dengan seseorang yang tidak pernah kita kenal siapa dia, tidak
pernah kita tanyakan dari mana asalnya. Dan dia duduk seketika bersama kita,
menyinggahi kamar kehidupan dan meninggalkan kalam bisunya di ruangan jiwa.
Dimensi
pertemuan itu berbeza, saat kita tidak pernah melihat wajahnya namun kita bagai
tahu bagaimana redup pandangannya. Dan tika kita tidak pernah sekali pun
mendengar suaranya, kita bagai kenal nada bahasanya.
Dan kita
tertawan pada agamanya, saat tazkirah dan nasihat menjadi utusan hatinya. Saat
hadis-hadis Baginda bermain dalam ratib bahasanya dan al-Huda menjadi ayat
karangan jiwanya. Dan bagi kita, sahabat adalah keperluan jiwa. Dialah ladang
hati, yang kita taburi dengan kasih dan kita tuai dengan penuh rasa terima
kasih. Dan pada kita, dialah anugerah istimewa dari-Nya saat kita memohon pada-Nya
memilih teman perjalanan yang terbaik dalam kembara perjuangan di jalan-Nya.
Begitu tika
Dia hadirkannya berkali-kali menemani lena kita, saat istikharah yang kita
pinta menjadi jawapan-Nya. Sehingga seluruh jiwa kita menyangka dialah sahabat
yang bakal menjadi menjadi tonggak perjuangan selama masa kehidupan. Dan tika
itu kita mengharapkan persahabatan yang berpanjangan dengan ikatan yang lebih
kukuh dan diredhai agar utusan hatinya sentiasa menemani kita, ratib bahasanya
terus didendangkan di telinga dan karangan jiwanya terus kemas terukir saat
kita alpa.
Dan tidak
pernah ada prasangka, bagaimana andai hadir kita memberi masalah padanya kewujudan
kita tanpa sedar mengganggu hatinya bertemu Pencipta. Dan kita terpaku
tiba-tiba, dari doa yang kita pohon agar persahabatan dinaungi rahmat-Nya
tiba-tiba bertukar cela. Mungkinkah dalam persahabatan itu penuh terpalit dosa,
apakah nasihat kita melaghokan jiwanya saat kita bersahabat kerana agama-Nya.
Namun tiba
saat mengharuskan kita sedar, saat pertemuan diqasadkan untuk memburu redha-Nya
maka perpisahan kerana-Nya pasti membuah makna. Tika kita merunduk tawadhu`
pada ketentuan-Nya dalam kudus jiwa kita membelas pada ketentuan takdir. Yakinlah
Dia tidak pernah menganiaya hamba-Nya.
Daun yang
jatuh takkan sekali-kali membenci angin. Dan amankanlah hatimu dengan janji-Nya:
"..Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya." (Fussilat:
46)
0 comments:
Post a Comment