Tuesday 29 May 2018

Kakak Nabi Musa a.s. : Miryam




Kisah kelam ehwal pembantaian para bayi laki-laki Bani Israil itu berawal dari mimpi yang dialami Firaun dalam tidurnya. Ia melihat seakan-akan ada kobaran api dari Baitul Maqdis yang bergejolak mendekat kepadanya. Api itu membakar bangunan kerajaan dan menghanguskan wilayah Kaum Qibthi di Mesir, tetapi tak sedikit pun menyentuh wilayah Kaum Bani Israil di negeri itu.

Ketika Firaun terbangun dari tidurnya, ia begitu terkejut dengan mimpi yang baru saja dialaminya, sehingga dikumpulkannyalah para dukun, tukang sihir, dan tukang tenung untuk menafsirkan arti mimpinya itu. Ia meminta petunjuk tentang apa yang sebenarnya terjadi. Mereka pun berkata, "Akan lahir anak laki-laki dari kalangan Bani Israil yang, di bawah kekuasaanya, akan menjadi penyebab hancurnya negeri Mesir." Maka, Firaun pun memerintahkan para prajuritnya untuk membunuhi setiap bayi laki-laki, sementara yang perempuan dibiarkannya hidup.

Kekejaman itu berlangsung selama bertahun-tahun. Setiap pasangan Bani Israil yang baru menikah akan dipantau sembilan bulan lamanya untuk dilihat apakah pernikahan itu membuahkan anak atau tidak. Dalam salah satu riwayat dikisahkan, para bidan kerajaan yang bertugas membantu kelahiran para bayi diperintahkan untuk langsung membuang bayi yang baru lahir ke Sungai Nil jika yang terlahir adalah laki-laki.

Dalam suasana yang mencekam itu, Imran, seorang keturunan imam dari garis keluarga Levi, memutuskan untuk bercerai dari istrinya, Yokhebed, lantaran khawatir dalam penyatuan mereka akan lahir anak laki-laki lain. Saat itu, mereka sudah memiliki satu anak perempuan bernama Miryam dan anak laki-laki bernama Harun yang sudah berusia sekitar dua tahun sehingga terbebas dari perintah pembunuhan Firaun.

Miryam, sang anak perempuan, berkata lantang menentang rencana ayahnya untuk bercerai, "Keputusan ayah ini lebih buruk dibandingkan titah Firaun. Firaun hanya akan memutuskan orang tua dari anak laki-lakinya, akan tetapi keputusan ayah akan membuat anak perempuan terputus juga dari orang tuanya." Mendengar ucapan anaknya itu, Imran, sang lelaki bijak, membatalkan keputusannya untuk bercerai yang kemudian diikuti juga oleh keluarga Bani Israil yang lain karena keluarga Imran adalah panutan bagi mereka. Bahkan Miryam pun pada usianya yang muda (sekitar 5 tahun) sudah diakui sebagai anak yang "terang". Adalah Miryam juga yang suatu kali pernah mengucapkan sebuah nubuwah, "Ibuku akan melahirkan anak laki-laki yang akan menyelamatkan Bani Israil."

Tercatat dalam sejarah bahwa Yokhebed, istri Imran, saat itu sebenarnya telah mengandung tiga bulan tatkala Imran menikahinya kembali. Oleh karenanya, Musa lahir lebih awal dibandingkan catatan pegawai  kerajaan yang biasanya kembali pada bulan kesembilan setelah pernikahan. Saat Musa dilahirkan, cahaya tampak bersinar di rumah itu. Imran lalu memanggil Miryam dan berkata, "Nak, ramalanmu telah menjadi kenyataan."

Selepas itu, bayi Musa diasuh dalam balutan kasih sayang keluarga itu dalam kurun waktu tiga bulan lamanya dan berhasil disembunyikan dari pantauan para pegawai kerajaan. Hingga kemudian, Yokhebed menerima perintah dari Allah Ta'ala untuk mengalirkan bayi Musa ke Sungai Nil. Peristiwa ini  menunjukkan martabat ketakwaan yang tinggi dari seorang perempuan yang juga berasal dari garis keturunan para imam dari keluarga Levi di Bani Israil. Petunjuk yang diturunkan kepada Yokhebed ini diabadikan dalam Al-Quran, Surah Al-Qashash [28]: 7,

َّوَأَوْحَيْنَآ إِلَىٓ أُمِّ مُوسَىٓ أَنْ أَرْضِعِيهِ ۖ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِى ٱلْيَمِّ وَلَا تَخَافِى وَلَا تَحْزَنِىٓ ۖ إِنَّا رَآدُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ ٱلْمُرْسَلِينََ
Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa, "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul. (Q.S. Al-Qashash [28]: 7)

Dengan hati yang dipenuhi tawakal kepada Allah Ta’ala, sang ibu mengalirkan bayi Musa yang baru berusia beberapa bulan itu ke Sungai Nil di dalam sebuah tabut. Yokhebed lalu memerintahkan Miryam, kakak perempuan sang bayi, mengikuti sejauh mana adiknya dibawa oleh aliran sungai. Hingga akhirnya, saat melintasi daerah istana, tampaklah olehnya para dayang-dayang istana memungut Musa yang masih ada di dalam tabut dari tepi Sungai Nil. Saat itu, karena tidak berani membukanya, mereka pun membawa tabut itu ke hadapan istri Firaun yang bernama Asiyah binti Muzahim. Berkat Asiyahlah, Firaun berkenan menerima bayi Musa untuk dirawat di lingkungan kerajaan.

Lalu atas kehendak Allah Ta’ala, bayi Musa itu tidak mau disusui oleh perempuan manapun yang berusaha menyusuinya. Disinilah peran Miryam, sang kakak perempuan dari bayi itu, kembali muncul. Dikisahkan bahwa Miryam kala itu adalah salah seorang bidan kerajaan yang meski di usianya yang muda belia, telah dipercayai melakukan tugas-tugas dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi. Miryamlah yang kemudian memberi saran kepada siapa sang bayi harus disusui.

وَأَصْبَحَ فُؤَادُ أُمِّ مُوسَى فَـرِغًا ۖ إِن كَادَتْ لَتُبْدِى بِهِۦ لَوْلَآ أَن رَّبَطْنَا عَلَى قَلْبِهَا لِتَكُونَ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ
وَقَالَتْ لِأُخْتِهِۦ قُصِّيهِ ۖ فَبَصُرَتْ بِهِۦ عَن جُنُبٍ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
وَحَرَّمْنَا عَلَيْهِ ٱلْمَرَاضِعَ مِن قَبْلُ فَقَالَتْ هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٓ أَهْلِ بَيْتٍ يَكْفُلُونَهُۥ لَكُمْ وَهُمْ لَهُۥ نَـصِحُونَ
رَدَدْنَـهُ إِلَىٓ أُمِّهِۦ كَىْ تَقَرَّ عَيْنُهَا وَلَا تَحْزَنَ وَلِتَعْلَمَ أَنَّ وَعْدَ ٱللَّهِ حَقٌّ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah).
Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: "Ikutilah dia". Maka kelihatanlah olehnya Musa dari jauh, sedang mereka tidak mengetahuinya,
Kami cegah Musa dari menyusui kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui(nya) sebelum itu. Lalu berkatalah saudara Musa: 'Maukah aku tunjukkan kepada kalian keluarga yang akan memeliharanya untuk kalian dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?'
Kami kembalikan Musa kepada ibunya supaya senang hatinya dan tidak berdukacita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (Q.S. Al-Qashash [28]: 10-13)

Nama "Miryam" berasal dari kata “mar” (מר) yang dalam bahasa Ibrani berarti "air". Kehidupannya memiliki asosiasi yang kuat dengan air, yaitu saat memantau bayi Musa di Sungai Nil, juga saat memimpin kaum perempuan menyeberangi Laut Merah bersama Musa beserta umatnya sambil melantunkan puji-pujian bagi Tuhan. Tercatat dalam Perjanjian Lama di pasal Keluaran 15:1, juga dalam beberapa tradisi Bani Israil, tentang "Sumur Miryam", yaitu mukjizat sumber air yang keluar di dataran kering saat Bani Israil berkelana pasca penyeberangan di Laut Merah. Dikisahkan pula tentang kekeringan yang melanda Bani Israil sepeninggal Miryam yang membuat Musa a.s. memecah batu dan darinya mengalir dua belas mata air.

َّوَإِذِ ٱسْتَسْقَى مُوسَى لِقَوْمِهِۦ فَقُلْنَا ٱضْرِب بِّعَصَاكَ ٱلْحَجَرَ ۖ فَٱنفَجَرَتْ مِنْهُ ٱثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا ۖ قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَّشْرَبَهُمْ ۖ كُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ مِن رِّزْقِ ٱللَّهِ وَلَا تَعْثَوْا۟ فِى ٱلْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: "Pukullah batu itu dengan tongkatmu". Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 60)

Ehwal wafatnya Miryam tercatat di Kitab Taurat, "Seluruh rombongan Bani Israil tiba di Gurun Tzin pada bulan pertama, dan orang-orang berkumpul di Kadesh. Miryam menghembuskan nafas terakhirnya di sana dan dimakamkan di tempat yang sama" (Bilangan 20:1). Dikabarkan kepergian Miryam adalah sebuah kematian yang indah dan tidak menyakitkan.

Keagungan dan keberkahan kiranya terlimpah kepada mereka yang menolong para utusan-Nya.

#KonvensyenWanitaAlQuran2018





Fadi's Wife




"The decision of the matter, before and after (these events) is only with Allah ..

When I got married in 2006, and Allah blessed me with being a wife of Fadi, I remember back then how I did enjoy my time with him, my life was dignified, full of happiness and kindness. I lived in an independent house with a loving husband who looked after me and was keen about my feelings and future. But one thing left that was narrowing my life and made it difficult, the delay in procreation. So, I kept praying day and night and raising my hands to Allah to bless me with good children, I used to pray saying: (O my Lord, leave me not single (childless), though You are the Best of inheritors), (O Lord, Grant me from You, a good offspring. You are indeed the All-Hearer of invocation) and (O Lord, Grant me (offspring) from the righteous). I kept praying for four and half years. Till I moved from Gaza to KL in 2011, and then, Allah responded to my prayers and gave me in Malaysia 3 of the children who are indeed the adornments of this life. They gave our lives another taste and earned a distinctive color. But again, something left that made my life difficult, I was far away from my Home (Gaza), family and those who I love. So, I prayed and prayed and kept calling Allah to gather us again in Home and reunion our family. And after 7 years of praying I got the chance to get back Home, But this time I lost the greatest thing in my life, my beloved amazing husband, who filled my life with love and kindness. So I prayed to Allah to give me patience, strengthen my heart and gather me with Fadi in the Firdous of Jannah.

As if these fluctuations and changes that I have experienced in my life, are lessons from Allah that this life in Dunya will never be perfect, it's a place where we are always under testing. Because if I got everything I want, I will forget the delight and pleasure of begging Allah for His generosity and seeking refuge by Him. But whenever I got something, I lose another thing, and when I lose something, Allah compensate me with something else.

Allah has taught me the boon of keep holding by His generosity..

Allah has taught me that this life equals nothing ..

Allah has taught me that the real life, is the life in the hereafter..

Allah has taught me to be satisfied with the destiny..

The decision of the matter, before and after (these events) is only with Allah .. "

- Enas Hamodah, Fadi's wife.





Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...