Jika kau merindu Makkah, sesekali abaikanlah bayangan tentang
gedung-gedung yang menjulang gagah, juga jam raksasa yang berdetak
mengabarkan kian dekatnya sa'ah.
Tapi biarkan khayal itu menyusuri bukit-bukit yang kini bebatuannya
pecah-pecah, yang di tengahnya dulu terjepit sebuah lembah. Di situlah semua
bermula, dalam doa di dekat bangunan tua yang tetap terjaga bersahaja.
“Ya Rabb kami, telah kutempatkan sebagian keturunanku di lembah tak bertanaman
di dekat rumahMu yang dihormati. Ya Rabb kami, agar mereka mendirikan shalat.
Maka jadikanlah hati sebagian manusia merundukkan cinta pada mereka,
karuniakan pada mereka rizki dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur.”
(QS. Ibrahim: 37)
Mereka yang menyejarah, memulai semuanya dengan keyakinan pada Penggenggam Alam
Semesta, bahwa hidup prihatin adalah agar sandaran jiwa raganya hanya
kepada Allah.
Kadang ia memang duka, tapi sedalam cinta.
Bayangkanlah kecamuk perasaan seorang istri yang ditinggalkan beserta bayi
merah oleh sang suami, di tempat yang harapan hidup dalam nalar manusia sungguh
nihil kiranya. Tiga kali dia mengejar lelaki yang tak sanggup berkata-kata itu
dengan tanya, "Mengapa kautinggalkan kami?" Dan semua baru jelas
ketika dia mengganti soalan menjadi, "Apakah ini perintah Allah?"
Ya.
"Jika ini perintah Allah", begitu dia tegaskan dengan menguatkan
hati, "Dia takkan pernah menyia-nyiakan kami."
Perasaan imani wanita ini, yang diperjuangkan mengatasi emosi-emosi; kecewa,
takut, galau, sedih, dan cemburu menjadi tonggak berdirinya sebuah peradaban
hanifiyyah. Tanpa ucapan Hajar ini, kita tahu; lembah Bakkah tetap akan sunyi,
tak ada lari bolak-balik tujuh kali dalam pendingin udara yang sejuk sekali,
meski kita sedang mengenang pembuktian iman di tengah terik mentari yang memanggang
pasir dan batu menyengat kaki, dengan sisa tenaga seorang wanita yang air
susunya kering dan bayinya menangis kelaparan.
Duka Ibrahim yang berulang, ketika buah hati sibiran tulang yang dinanti hingga
menua harus ditinggalkan, lalu ketika dia tumbuh gagah membanggakan harus
disembelih, adalah duka sedalam cinta.
Jika nanti kau mengunjungi Makkah, sesekali palingkanlah
wajah dari toko-toko yang megah dan barangan yang mewah, dan beralihlah menatap
pasir-pasir dan debunya yang kini lebih kerana pembangunan di mana-mana.
Sebab dalam suasana itu, Sumayyah menemui syahadah, Yasir disalib, Bilal
diseret ke tengah gurun, ditindih batu di atas pasir membara, dan dicambuk
hingga pemecutnya kelelahan. Sebab dalam sesak itu, Khabbab pernah diselongsong
di atas api pembakar besi, hingga cairan yang menetes dari lepuhan punggunglah
yang memadamkan nyalanya.
Dalam gerah ini pula, Sang Nabi ﷺ menangis dan berkata, "Duhai Makkah, sungguh engkau adalah
bagian bumi yang paling dicintai Allah, maka kamipun sangat mencintaimu..
Seandainya bukan karena kaumku mengusirku darimu, aku takkan pernah
meninggalkanmu.."
Jika kau nanti menjadi tamu Allah, sesekali pejamkan matamu dari kilau gemerlap
lampu-lampunya, kecerlangan marmer dan granit berukir-ukir. Lalu bacalah
talbiyah dengan penghayatan orang-orang yang dipanggil Ibrahim lalu datang
berjalan kaki atau menaiki unta-unta kurus dalam perjalanan berbulan-bulan dari
lembah-lembah yang dalam.
Lalu mari mengenang dua uswah hasanah itu dalam doa rindu, "Allahumma
shalli 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad. Kama shallaita 'ala Ibrahim wa 'ala
ali Ibrahim."
Mereka yang menyejarah, selalu rindu kepada Makkah, menghayati duka sedalam
cinta..
-Salimafillah-
0 comments:
Post a Comment